Selasa, 06 Maret 2012

Iddah Dalam Al Qur'an

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan adalah melakukan suatu akad atau perjanjian antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan jasmani antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan kerelaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.[1]

Kebahagiaan hakiki dan sejati akan diperoleh dalam kehidupan bersama yang diikat oleh pernikahan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri.

Keluarga itu terbentuk dari pernikahan, hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita tidaklah dapat dinamakan keluarga jika keduanya tidak diikat oleh pernikahan atau perkawinan. Karena itu pernikahan diperlukan untuk membentuk keluarga, tanpa nikah tidak ada keluarga.[2]

Sebagai umat Islam berkewajiban untuk mewujudkan rumah tangga sejahtera bahagia menurut tuntutan Islam, yakni rumah tangga yang menjadi laksana surga bagi penghuninya dengan diliputi rasa bahagia, tentram, rukun dan damai sebagaimana dalam Hadits Nabi “Rumah tanggaku adalah surgaku”.[3]

Keluarga adalah unit kecil dari masyarakat, mulanya terdiri dari dua manusia, seorang pria dan seorang wanita, yang hidp bersama dengan ikatan nikah. Kemudian berkembang dengan lahirnya anak, guna membangun rumah tangga yang akan memberikan kepada mereka ketenangan dan kesenangan. Hal ini disebut Allah dengan konsep “sakinah” dalam Al-Qur’an, Surat Ar-Ruum ayat 21 :

ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ

“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir ”. (QS. Ar-Ruum : 21)[4]

Rumah tangga terbentuk karena pernikahan itu harus saling percaya antara suami-istri, agar tidak menimbulkan masalah yang mengakibatkan perceraian (memutuskan hubungan suami istri), tetapi perceraian kadang-kadang mempunyai akibat istri ditalaq suami atau istri ditinggal mati oleh suaminya.

Talaq adalah segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim maupun perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau istri,[5] meskipun perceraian diperbolehkan tetapi Islam mnganjurkan untuk mempertahankan perkawinan sebagaimana dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.

حدثنا كثربن عبيد اخبرنا محمد بن خليد عن معرف بن واصيل عن محارب بن دثار عن ابن عمر عن النبي صل الله عليه وسلم قال : اَبْغَضُ اْلحَلاَلُ اِلىَ اللهِ الَطَّلاَقُ. (رواه ابو داوود)

“ Telah menceritakan kepada kami Katsir bin Ubaid, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Khalid dari Ma’ruf bin Washil dari Mukharib bin Disar dari Ibnu Umar dari Nabi Saw bersabda : Perkara yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian ”. (Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud)[6]

Istri yang ditalaq oleh suami harus melaksanakan iddah, baik talaq melalui perceraian maupun talaq yang ditinggal mati suaminya, istri tidak boleh menikah lagi sebelum masa iddahnya habis, baik talaq raj’I (talaq yang masih boleh menikah lagi dengan suaminya tetapi setelah menikah dengan orang lain, baru boleh menikah lagi dengan suaminya).[7]

Islam mewajibkan iddah bagi seorang istri adalah demi melindungi kehormatan keluarga, serta menjaga dari perpecahan dan percampuran nasab. Dalam Al-Qur’an banyak membahas ayat tentang iddah istri yang masih haid yang ditalaq oleh suaminya dan iddahnya tiga kali quru’, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 228 :

àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% ……4 ÇËËÑÈ

“ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'… ”. (QS. Al-Baqarah : 228)[8]

Para mufassir dalam menafsirkan kata quru’ pada ayat tersebut berbeda pendapat, ada yang berpendapat quru’ adalah tiga kali masa suci, ada juga yang berpendapat quru’ adalah tiga kali masa haid dengan alasan untuk mengetahui bersihnya rahim dari kandungan.

Dalam Al-Qur’an, ayat yang menerangkan tentang iddah tersebut dalam surat Al-Baqarah, surat At-Talaq dan surat Al-Ahzab. Tetapi ayat yang paling banyak membahas tentang iddah ada dalam surat Al-Baqarah yang berkaitan dengan iddah talaq dan iddah kematian.[9]

Islam tidak berbuat dzalim kepada seorang istri, karena dengan iddah (masa tunggu) selama tiga bulan untuk mengetahui apakah ada janin yang ada di rahimnya, selama seorang istri masih terikat keadaannya dan iddah istri yang ditinggal mati suaminya agar ikut berkabung atau berduka cita atas kematian suaminya.

Hikmah tentang disyariatkannya iddah ini diwajibkan kepada istri yang ditalaq (perceraian dan kematian) untuk meyakinkan bersihnya kandungan istri, karena tujuan pokok iddah adalah kebersihan rahim (bar’atur rahim)[10] dan diharapkan hubungan perkawinan mereka dapat diteruskan kembali. Pada masa iddah istri tetap berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal serta jaminan keamanan dari pihak suaminya.

Iddah dan talaq sangat berkaitan, karena akibat dari talaq istri harus melaksanakan iddah, dan didalam Al-Qur’an sudah diterangkan tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan talaq dan iddah seperti surat Al-Baqarah, At-Thalaq dan Al-Ahzab tetapi dalam surat Al-Baqarah ayat yang membahas iddah lebih jelas.

Masalah iddah istri yang ditinggal mati suami, istri harus melaksanakan iddah selama empat bulan sepuluh hari, karena ikut berkabung dan berduka cita atas kematian suaminya,[11] dan istri harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang sudah diatur pada masa iddah mati.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diketahui permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan iddah talaq dan kematian. Di dalam Al-Qyr’an ayat-ayat yang membahas tentang iddah terdapat dalam surat Al-Baqarah, At-Thalaq dan Al-Ahzab. Tetapi untuk membatasi masalah iddah yang ada di dalam Al-Qur’an disini hanya membahas iddah yang terkandung dalam surat Al-Baqarah, karena dalam surat Al-Baqarah pembahasan tentang iddah lebih jelas dengan menggunakan metode Tahlili dalam menganalisis ayat-ayat yang berkaitan dengan iddah.

Dalam penelitian ini hanya membahas iddah yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 228-235 yang menjelaskan tentang iddah talaq dan kematian, dengan menganalisis ayat demi ayat sesuai urutan mushaf agar pembahasan iddah lebih jelas. Karena para mufassir banyak yang berbeda pendapat dalam menafsirkan masalah iddah dalam Al-Qur’an.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pendapat para mufassir tentang iddah istri yang ditalaq raj’I oleh suami?

2. Bagaimana pendapat para mufassir tentang iddah istri yang ditinggal mati suaminya?

3. Bagaimana ketentuan-ketentuan istri pada masa iddah talaq dan iddah kematian?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan pendapat para mufassir tentang iddah istri yang ditalaq raj’I oleh suami.

2. Untuk mendeskripsikan pendapat para mufassir tentang iddah istri yang ditinggal mati suaminya.

3. Untuk mendeskripsikan ketentuan-ketentuan istri pada masa iddah talaq dan iddah kematian.

E. Kegunaan Penelitian

1. Sebagai sumber informasi penfasiran tentang iddah dalam Al-Qur’an.

2. Untuk menambah khazanah keilmuan.

F. Penegasan Judul

Iddah adalah masa tunggu bagi istri yang ditalaq oleh suaminya, talaq perceraian atau kematian, karena tujuan iddah adalah untuk mengetahui isi kandungan istrinya dan ikut berduka cita atau berkabung jika istri ditinggal mati suaminya.[12]

Dalam Al-Qur’an yang membahas tentang iddah adalah surat Al-Baqarah dan surat At-Thalaq. Didalam surat Al-Baqarah membahas tentang istri yang masih haid dan istri yang ditinggal mati suaminya, didalam surat At-Thalaq membahas tentang istri yang monopous dan istri yang belum pernah haid serta istri yang sedang hamil, disini hanya membahas iddah yang terkandung dalam surat Al-Baqarah.

Masalah tentang iddah diangkat, karena sekarang masyarakat di Indonesia banyak yang tidak melaksanakan iddah karena dikaitkan dengan masalah ekonomi, oleh karena itu, dalam penelitian ini membahas tentang batasan iddah istri yang ditalaq atau ditinggal mati suaminya.

Judul dari penelitian ini adalah “Iddah dalam Al-Qur’an (Kajian Terhadap Surat Al-Baqarah ayat 228-235)”. Dengan memakai metode Tahlili, yaitu metode penafsiran melalui analisis ayat yang berkaitan dengan iddah dalam surat Al-Baqarah sesuai urutan Mushaf dengan memakai kajian tafsir Tahlili.

G. Kajian Pustaka

Buku yang membahas tentang iddah, judul bukunya “Tafsir Ayat Ahkam karya As-Shabuni”[13] buku ini membahas tentang ayat-ayat yang berkiatan dengan masalah iddah, dengan menafsirkan ayat memakai metode Maudhu’i, namun buku ini hanya membahas secara umum tentang iddah yang ada didalam Al-Qur’an berkaitan dengan iddah talaq dan kematian.

Pembahasan tentang iddah dalam penelitian skripsi telah dibahas oleh saudari Nur Kholifah, Mahasiswa Ushuluddin Tafsir Hadits Tahun 2002, dengan judul “Makna Iddah dalam Al-Qur’an (Suatu Kajian Tematik)”. Tetapi dalam pembahasan skripsi memakai tafsir tematik dan memakai metode Maudhu’I dalam menafsirkan ayat-ayat iddah.

Penelitian ini hanya membahas masalah iddah yang terkandung dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah dengan metode Tahlili atau analisis, penulisan penelitian ini lebih memfokuskan pembahasan iddah dalam surat Al-Baqarah, agar pembahasan iddah dalam surat Al-Baqarah bisa lebih jelas dengan pendapat para mufassir.

H. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kepustakaan yang meliputi :

1. Metode Penafsiran

Metode Tahlili : menfasirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir.

Dalam metode ini, bisanya mufassir menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di mushaf, dalam menfasirkan ayat dengan metode Tahlili, mufassir harus menerangkan asbabun nuzulnya, makna kosa kata ayat, munasabah ayat dan juga pendapat dari Nabi, sahabat dan tabi’in.[14] Metode Tahlili dalam menafsirkan ayat mempunyai kelebihan dan kekurangan, yaitu :

1). Kelebihan metode Tahlili

a). Ruang lingkup yang luas

Metode analisis mempunyai ruang lingkup yang amat luas, metode ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua bentuknya : ma’tsur dan ra’yi.

b). Memuat berbagai ide

Mufassir banyak memasukkan ide-ide dan pendapatnya dalam menafsirkan Al-Qur’an.

2). Kekuarangan metode Tahlili

a). Menjadikan petunjuk Al-Qur’an parsial

Metode analisis dapat membuat petunjuk Al-Qur’an terpecah-pecah karena penafsirannya tidak utuh.

b). Melahirkan penafsiran subjektif

Penafsirannya banyak dipengaruhi oleh hawa nafsunya karena hanya berdasarkan pendapatnya sendiri.

c). Terpengaruh oleh pemikiran isroiliyat

Dalam metode Tahlili banyak pemikiran isroiliyat yang mempengaruhi penfasiran Al-Qur’an oleh para mufassir.[15]

Metode analisis yang digunakan dengan menganalisis ayat yang berkaitan dengan iddah dan menjelaskan masalah iddah sesuai dengan urutan mushaf agar pembahasan tentang iddah lbih jelas.[16]

2. Data yang dikumpulkan dalam penulisam ini adalah penafsiran tentang iddah dalam surat Al-Baqarah dengan cara mempelajari buku tafsir yang berkaitan dengan iddah kemudian dijadikan landasan dalam penelitian skripsi.

3. Sumber Data

Sumber data yang diambil dalam penelitian ini adalah penafsiran terdiri dari sumber data primer dan skunder, antara lain :

a. Data Primer

Al-Qur’an

b. Data Skunder

1). Tafsir Wanita karya Syeikh Imad Zaki Al-Barudi

2). Tafsir Ibnu Katsir karya Ibnu Katsir

3). Tafsir Al-Maraghi karya Al-Maraghi

4). Tafsir Ayat Ahkam karangan M. Ali As-Shabuni

5). Tafsir Al-Misbah karangan Prof. DR. Quraish Shihab

6). Tafsir Al-Azhar karya Prof. DR. Hamka

7). Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq

8). Bidayaul Mujtahid karya Ibnu Rusyd

9). Metodelogi Penafsiran Al-Qur’an karya Nashirudin Baidan


4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dari buku-buku yang terkait dengan iddah dan penafsiran ayat-ayat iddah yang terkandung dalam surat Al-Baqarah kemudian dilakukan analisis ayat secara kualitatif.[17]

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian menggunakan teknik deskriptif yang artinya menjelaskan surat Al-Baqarah yang ayatnya berkaitan dengan iddah dengan metode Tahlili, yaitu menganalisis ayat-ayat iddah yang ada didalam surat Al-Baqarah.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan ini dibagi dalam lima bab sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan judul, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan

Bab II : Tinjauan umum tentang iddah

Bab ini berisi tentang pengertian iddah, macam-macam iddah : iddah talaq, iddah istri hamil, iddah kematian, nakah istri pada masa iddah dan hikmah iddah.

Bab III : Ayat-ayat tentang iddah dalam surat Al-Baqarah

Bab ini menernagkan tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan iddah, dalam surat Al-Baqarah 228-235 dengan asbabun nuzulnya, penafsiran ayat iddah dalam surat Al-Baqarah 228-235, penjelasan makna ayat iddah dalam surat Al-Baqarah 228-235.

Bab IV : Analisis ayat iddah dalam surat Al-Baqarah

Bab ini menerangkan tentang analisis ayat iddah dalam surat Al-Baqarah, masa iddah istri yang ditalaq raj’I, masa iddah istri yang di tinggal mati suami, ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan oleh istri pada masa iddah talaq dan iddah kematian.

Bab V : Penutup

Bab ini berisi tentang kesimpulan, saran-saran



[1] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Vol.6, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1987), 59

[2] Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih, (Jakarta : Pustaka Antara, 2000), 11

[3] Ibid, 12

[4] Al-Qur’an, 30 : 21

[5] Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Pustaka Setia, 1999), 74

[6] Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistaniy Al-Azdy, Sunan Abu Dawud, Vol. 3, (Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiah, 1996), 571

[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta : Pustaka Amani, 1997), 96

[8] Al-Qur’an, 2 : 228

[9] Choiruddin Haddri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, (Jakarta : Gema Insani Press, 1993), 264

[10] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol, I, (Jakarta : Lentera Hati, 2000), 445

[11] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, (Jakarta : Lentera, 1997), 465

[12] Abdul Malik bin Abdul karim Amrullah Hamka, Tafsir Al-Azhar, Vol. 2, (Jakarta : Penerbit Pustaka Panji Mas, 2001), 205

[13] M. Ali As-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam, Terj. Muammal Hamidi, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2003), 405

[14] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1998), 86

[15] Nashirudin Baidan, Metodelogi Penfasiran Al-Qur’an, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1998), 60

[16] Nashirudin Baidan, Metode Penfasiran Al-Qur’an, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1995), 40

[17] Ibid, 42