BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Cinta kepada Allah adalah istilah
yang ringan di ucapkan, tetapi implementasi dalam kehidupan sehari-hari
bukanlah perkara mudah. Kecintaan selalu membutuhkan pengorbanan, dan
pengorbanan orang yang mencintai Allah nilainya tidak dapat disamakan dengan
pengorbanan yang dilakukan seorang manusia kepada kekasihnya.
Manusia adalah salah satu makhluk
Allah yang telah diberi rasa cinta, sehingga manusia mampu menjadikan dirinya
makhluk yang mampu mengasihi sesamanya. Dengan perasaan cinta itu pula manusia
dapat mencintai dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun apa yang terjadi pada
zaman sekarang sebagian manusia dengan mengatasnamakan cinta untuk berbuat suatu
kedzaliman (kedurjanaan), hal tersebut yang tidak diharapkan oleh ajaran Islam.
Islam adalah agama yang ajarannya
didasarkan pada realitas, bukan pada khayalan. Islam tidak menafikan adanya
perasaan saling mencintai antar manusia, sebab hal itu adalah fitrah manusia.
Secara naluriah, seseorang akan
mencintai pasangan, keluarga, harta, dan tempat tinggalnya. Akan tetapi tidak
sepatutnya sesuatu yang bersifat duniawi tersebut lebih dicintai dibanding
Allah dan Rasul-Nya. Jika manusia lebih mencintai sesuatu yang bersifat duniawi
berarti imannya tidak sempurna, dan ia harus berusaha untuk menyempurnakannya.
Dalam masalah cinta pasti memiliki
konsekuensi dari perasaan cinta yang dimiliki. Bila cinta itu suci dan sejati
akan mendapat kebahagiaan tersendiri, tetapi bila kadar cinta itu tidak sebesar
iman yang dimiliki berarti akan berakibat fatal bagi diri dan cintanya.
Bahwa rasa cinta memang membutuhkan
pembuktian dari setiap orang yang mengaku mencintai, karena sebuah pengakuan
itu termasuk hal yang mudah, akan tetapi membuktikan pengakuan itulah yang
sulit. Terkadang seseorang menganggap mudah sebuah pengakuan bahwa dirinya
telah mencintai Allah. Padahal, pengakuannya tersebut itu belum teruji dengan
bukti yang menunjukkan ke arah cinta yang sebenarnya.
Cinta hamba kepada Allah merupakan
sarana yang bisa mengangkatnya ke derajat yang lebih tinggi, sempurna dan suci.
Kedudukan yang tinggi ini menuntut manusia untuk berkorban demi Penciptanya,
sebagaimana yang dilakukan oleh setiap orang yang mencinta. Seorang pencinta
harus mencintai objek cintanya dengan hati yang tulus. Ia harus sanggup
berkorban demi yang dicintai dengan penuh suka cita. Ia juga harus mampu
menunjukkan cintanya atas segala ujian yang menimpanya.[1]
Jika telah sampai pada tingkat yang
demikian, maka cinta hamba kepada Khaliqnya itu merupakan keimanan yang hakiki.
Keimanan yang hakiki bukanlah sekedar pengetahuan dan ketundukan jiwa. Dengan
kata lain, iman yang benar adalah imannya sang pencinta kepada Sang Khaliq
dengan penuh ketulusan, yang bahkan bisa memabukkan dan melupakan diri sendiri
dan akan berpengaruh pada seluruh ucapan, tindakan dan sikapnya.
Seorang mukmin yang hakiki adalah
orang yang memahami keindahan dan keagungan Tuhan, mengetahui kasih sayang dan
kebesaran-Nya. Begitu pula seorang mukmin yang hakiki meyakini sepenuhnya bahwa
Tuhan adalah satu-satunya pemberi nikmat dan anugerah. Tiada nikmat Allah dan
tiada anugerah kecuali dari Sang Khaliq.
Diantara kesempurnaan rasa cinta
tersebut adalah, memerangi musuh-musuh kekasih-Nya. Hal ini termasuk dalam
kategori berjihad dijalan Allah, yaitu mengajak orang-orang yang manyimpang
dari jalan Allah agar kembali kepada-Nya, walaupun harus dengan mengangkat
senjata, itupun setelah mengajak mereka dengan argumentasi yang bijaksana.
Orang yang mencintai Allah, tentu akan senang kalau sebagian besar makhluk-Nya
mengikuti ajaran-Nya.[2]
Hal yang paling mudah dipahami oleh
akal pikiran mengapa manusia hanya patut mencintai-Nya adalah kerena adanya
anugerah nikmat yang telah diberikan Allah kepada manusia. Kenikmatan yang
telah dirasakan oleh manusia selama ini pada hakekatnya adalah milik Allah SWT.
Ketika Allah mencintai hamba-Nya mengandung
arti bahwa Allah telah membukakan mata hati manusia supaya dapat mendekatkan
diri dan melihat Tuhan dengan mata batinnya. Cinta Allah kepada hamba-Nya berarti
dekatnya Tuhan terhadap jiwa seorang hamba yang telah di jauhkan dari maksiat,
dan dibersihkan jiwanya dari kotoran-kotoran duniawi.[3]
Pemberian anugerah cinta ini tidak
ada yang mampu menghargainya, kecuali mereka yang mengetahui dan memahami siapa
hakekat Sang Pemberi. Dialah Dzat yang Maha Pemberi dan Maha Pencipta.
Jika cinta Allah kepada hamba-Nya
merupakan sesuatu yang agung dan anugerah yang istimewa, maka nikmat Allah
kepada hamba-Nya berupa hidayah untuk mencintai-Nya, sedangkan anugerah taufik
untuk makrifat kepada-Nya merupakan anugerah yang agung dan istimewa.
Sesungguhnya cinta yang agung dari
Allah kepada hamba-Nya tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang memiliki
prestasi besar dalam amalnya dan ibadahnya, yang melebihi amal dan ibadah
orang-orang biasa.
Daya kreatif cinta tidaklah berhenti
pada eksternalisasi dan pemeliharaan alam semesta. Manusia tidak menyadari
bahwa cinta dan hasrat mereka telah menjadi bukti nyata cinta Allah. Cinta sang
hamba sebenarnya adalah cinta Allah yang tercermin pada diri makhluk.
Akibatnya, seperti yang ditulis Ibn ‘Arabi, “Tak ada yang mencintai Sang Khaliq
kecuali Sang Khaliq.” Dan “Tak ada yang mencinta dan dicinta kecuali Sang Khaliq
sendiri”[4]
Cinta hamba kepada Tuhan seharusnya
merupakan cinta yang melebihi dari segalanya. Seperti Rabi’ah al-Adawiyyah,
yang karena terlalu cintanya kepada Tuhannya sehingga tidak ada lagi ruang
dihatinya untuk mencintai selain Allah.[5]
Begitu banyak peneliti, ilmuwan,
sastrawan bahkan para orang bijak masa lalu sampai masa sekarang telah
melakukan kajian terhadap masalah “Cinta” sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari manusia. Kemudian bagaimana al-Qur’an berkomentar tentang hal ini? Inilah
yang menumbuhkan rasa ingin tahu penulis, untuk mengetahui informasi secara
mendalam dari al-Qur’an, yang menjadi latar belakang penulisan skripsi “Tafsir
Cinta Dalam Al-Qur’an” (Studi Tentang Ayat-ayat Cinta Dalam Al-Qur’an).
B.
Identifikasi
Masalah dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
agar pembahasan lebih terarah dan mudah difahami penulis mengidentifikasikan
masalah dalam skripsi ini pada suatu tema yaitu tentang cinta kepada Allah yang
berhubungan dengan wujud dan ciptaan-Nya.
Supaya pembahasan tidak melebar maka
penulis membatasi bahasan skripsi ini dengan mengambil sampel ayat dari surat
Q.s. Al-Baqarah ayat 165, Q.s. Ali-Imran ayat 31, Q.s. Al-Maidah ayat 54 dan
Q.s. At-Taubah ayat 24. Yang ditulis dalam kitab Latha>if
al-Isya>rah dan
Ru>h al-Ma'a>ni.
C.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan
pembatasan masalah diatas, agar rumusan masalah lebih terarah, maka perlu
adanya rumusan masalah yaitu:
- Bagaimana realita cinta hamba kepada Allah berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an?
- Bagaimana wujud cinta Allah kepada hambanya?
D.
Tujuan
Penelitian dan Kegunaan Penelitian
Sehubungan dengan pernyataan dalam
perumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembahasan ini adalah:
- Untuk mengetahui realita cinta hamba kepada Allah berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan cinta kepada Allah.
- Untuk mengetahui wujud cinta Allah kepada hambanya
Adapun kegunaan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
- Untuk memberikan tambahan wawasan keilmuwan yang berkaitan dengan penafsiran atas ayat-ayat cinta.
- Sebagai motifasi bagi kaum muslimin pada umumnya dan bagi pembaca pada khususnya agar mengetahui penjelasan tentang ayat-ayat cinta kepada Allah.
- Sebagai khazanah keilmuwan yang berkaitan dengan masalah cinta kepada Allah dan sebaliknya cinta Allah kepada hamba-Nya.
E.
Penegasan
Judul
Untuk menghindari kesalahpahaman
dalam memahami skripsi ini serta untuk memperoleh pengertian yang lebih jelas
tentang apa yang dikehendaki oleh judul di atas, maka perlu diuraikan kata-kata
berikut ini:
Tafsir : Ilmu
yang menjelaskan makna ayat sesuai dengan dlilalah (petunjuk) yang dzahir
(lahir) dalam batas kemampuan manusia. Artinya, Ilmu Tafsir mengkaji bagaimana
menjelaskan kehendak Allah SWT. yang terkandung dalam al-Qur’an melalui level
dan makna serta menjelaskan hukum-hukum yang dikandungnya, sesuai dengan
kemampuan mufassir (ahli tafsir).[6]
Cinta : Berasal
dari bahasa sansakerta, yaitu "citta" yang memiliki arti "yang
selalu dipikirkan, disenangi dan dikasihi".[7] Adapun
cinta yang di maksud penulis adalah cinta makhluk dengan makhluk, cinta makhluk
terhadap Allah dan cinta Allah kepada makhluk-Nya. Perasaan cinta dalam bahasa
Arab disebut dengan hubb, sedangkan siapa yang dicintai disebut mahbub.
Perasaan cinta itu tidak boleh terbagi. Ia adalah milik yang khusus bagi orang
yang bercinta. Demikian halnya cinta (mahabbah) kepada Allah. Adalah
khusus dari ‘abid kepada ma’budnya, tidak boleh bercampur dengan kecintaan
terbatas dan terbagi dengan makhluk, atau benda-benda duniawi lainnya.[8]
Al-Qur'an : Kalam Allah
SWT, yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai penutup
para Nabi dan Rasul dengan perantara malaikat Jibril, ditulis dalam
mushaf-mushaf yang sampai kepada kita secara mutawatir, dipandang sebagai
pahala bagi yang membacanya, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri
denagn surat an-Nas.[9]
F.
Kajian
Pustaka
Pembahasan masalah cinta (mahabbah),
telah banyak dikaji oleh tokoh-tokoh Islam dengan berbagai sudut pandang, hal
ini menunjukkan bahwa eksistensi cinta manusia sangatlah menarik untuk ditelaah
dan dikaji, baik dipandang dari segi penafsiran ayat, filsafat maupun tasawuf. Untuk
mengetahui kekhasan skripsi ini, berikut disampaikan beberapa penelitian
sebelumnya yang memiliki masalah serupa cinta, diantaranya yaitu
1.
“Cinta
Kepada Allah Dalam Kajian Tafsir Tematik”. Lilik Habibah, Fakultas Ushuluddin
jurusan Tafsir Hadits tahun 2001. Dalam skripsi tersebut memaparkan bahwa cinta
seorang hamba kepada Allah disebabkan karena kecenderungan manusia suka pada
keindahan, karena Allah adalah yang Maha Indah. Dengan kata lain bahwa skripsi
tersebut hanya membahas cinta seorang hamba kepada Sang Khaliq saja,
bukan sebaliknya.
2.
“Konsep
Cinta Dalam Pemikiran Ibn ‘Arabi”. Muhammad Hanafi, Fakultas Ushuluddin,
jurusan Aqidah Filsafat tahun 2003. Dalam skripsi tersebut memaparkan tiga
konsep cinta dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi yaitu : cinta alami, cinta spiritual
dan cinta kudus. Dari sini dapat diketahui bahwa dalam skripsi tersebut hanya
menjelaskan konsep cinta Ibnu Arabi dan lebih cenderung pada pendekatan
filsafat.
3.
“Konsep Cinta
Dalam Pemikiran Ibn Qayyim Al-Jauziyyah”. Ismail Hasan, Fakultas Ushuluddin,
jurusan Aqidah Filsafat tahun 2005. Dalam skripsi tersebut membahas tentang
konsep cinta Ibn Qayyim Al-Jauziyyah yang menempatkan cinta sebagai dasar
bertaqarrub (beribadah) kepada Allah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa
skripsi tersebut lebih dekat pada telaah filsafat.
4.
“Studi
Tentang Konsepsi Al-Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyya”, Iis Rahmawati. Fakultas
Ushuluddin, jurusan Aqidah Filsafat tahun 1995. Dalam skripsi tesebut membahas
tentang konsep mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah, menurut beliau ajaran cinta ada
dua yaitu; pertama cinta karena rindu, ini tercermin pada aksi untuk senantiasa
merasakan cinta hanya kepada Sang Khaliq SWT. Kecintaan Rabi’ah
al-Adawiyyah kepada Tuhan yang tidak takut pada adzab-Nya, karena ingin
mencintai Tuhan semata. Dalam kehidupan sosial, cinta pada tahap ini tercermin
dari tahapan tawakkal, dari Ridla, Sabar dan khusus pada Rabi’ah al-Adawiyyah
cinta pada tahapan ini membawa kepada kehidupan at-Tabathu (membujang)
selama hayatnya.
5.
“Akal Dan
Cinta Dalam Pandangan Jalaluddin Rumi”. Anugerah Agung, Fakultas Ushuluddin,
jurusan Aqidah Filsafat tahun 1996. Dalam skripsi tersebut menjelaskan hubungan
antara cinta dan akal, dimana orang yang bercinta sering tak berakal dan orang
yang berakal belum tentu mampu bercinta, juga menjelaskan simbolisme akal dan
cinta Jalaluddin Rumi.
6.
“Cinta
Dalam Analisa Tasawuf”. Jamilah Fakultas Ushuluddin, jurusan Aqidah Filsafat
tahun 1998. Dalam skripsi tersebut menjelaskan pengertian dan makna cinta yang
dihubungkan dengan Ittihad, hulul, wahdat al-wujud yang pada garis
besarnya bahwa cinta adalah pengarah antara hamba dan Tuhan. Sesuatu yang
merupakan esensi manusia, dimana manusia memiliki kesadaran spiritual.
7.
“Konsepsi
Mahabbah Menurut Al-Ghazali”. Enif, Fakultas Ushuluddin, jurusan Aqidah
Filsafat tahun 2003. Dalam skripsi tersebut menjelaskan, bahwa menurut
al-Ghazali, mahabbah adalah tujuan yang terjauh dan termasuk derajat
yang tinggi, sedangkan kerinduan, kesenangan dan keridhahan mengikuti
kecintaan.
Berdasarkan beberapa skripsi yang
telah penulis paparkan di atas, penulis akan menegaskan bahwa skripsi yang akan
penulis bahas tidak ada kesamaan yang mendasar dengan beberapa skripsi diatas. Adapun
perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian tersebut adalah
1.
Pembahasan
cinta tidak hanya cinta hamba kepada Allah saja, tetapi sebaliknya cinta Tuhan
kepada hamba-Nya.
2.
Telaah tafsir
terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan cinta.
G.
Sumber
Data
Untuk menulis skripsi ini penyusun
menggunakan sumber data yang terbagi dua, yaitu sumber data primer dan sumber
data skunder. Adapun data tersebut adalah:
1.
Sumber data
primer
a.
Al-Qur’an
al-Karim
b.
Latha>if al-Isya>rah,
karya Imam al-Qusyairi
c.
Ru>h al-Ma’a>ni,
karya Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi
2.
Sumber data
skunder
a.
Tafsir
al-Maraghi, karya Ahmad Musthafa al-Maraghi
b.
Tafsir
al-Misbah, M. Quraish Shihab
c.
Tafsir
al-Azhar, Hamka
d.
Rabi'ah
al-Adawiyyah, Hubb al-Ilahi
H.
Metode
Penelitian
Untuk mengumpulkan bahan-bahan materi
yang akan dibahas dalam skripsi ini digunakan metode Library reseach,
yaitu suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengutip
beberapa bahan materi yang diuraikan dalam buku-buku yang ada kaitannya dengan
pembahasan skripsi ini.
Dalam mengolah atau menganalisa
bahan-bahan materi yang telah terkumpul, digunakan sebagai berikut:
1.
Metode Maudhu>’i: ialah menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai ayat-ayat dan
surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya,
kemudian penulis membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut,
sehingga menjadi kesatuan yang utuh,[10] namun
tidak menutup kemungkinan untuk meggunakan beberapa metode, apabila diperlukan
selain metode diatas.
2.
Metode
Induktif: yaitu suatu metode yang dimulai dengan
mengemukakan dalil yang bersifat khusus dengan kesimpulan yang bersifat umum.[11]
3.
Metode
Deduktif: yaitu metode yang dimulai dengan
mengemukakan dalil yang bersifat umum, kemudian dilanjutkan dengan kenyataan
yang bersifat khusus.[12]
I.
Sistematika Pembahasan
Bab I : Pendahuluan, Latar
Belakang, Identifikasi Masalah dan Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan
Penelitian dan Kegunaan Penelitian,
Penegasan Judul, Kajian Pustaka, Sumber Data, Metode Penelitian,
Sistematika Pembahasan.
Bab II
: Tafsir Maudhu>’i dan Cinta, Tafsir dan metode Maudhu>’I, Definisi
Cinta, Cinta Menurut Para Ahli Tasawuf
Bab
III : Cinta
Hamba Kepada Allah Dan Cinta Allah Kepada Hamba-Nya, Ayat-ayat yang berkaitan dengan cinta hamba kepada Allah dalam
al-Qur'an., Ayat-ayat yang berkaitan dengan cinta Allah kepada hamba-Nya,
Penafsiran ayat-ayat cinta hamba kepada Allah, Penafsiran ayat-ayat cinta Allah
kepada hamba-Nya, Analisa Ayat-ayat Cinta Dalam Al-Qur’an
Bab IV : Penutup, Kesimpulan dan
Saran.
[1] Djamaluddin Ahmad Al-Buny, Menelusuri Taman-taman Mahabbah
Shufiyah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), hal. 46
[2] Abd Aziz Musthafa, Mahabbatullah Tangga Menuju Cinta Sang Khaliq,
Wacana Ibn Qayyim al-Jauziyyah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal.105
[3] Margareth Smith, Rabi’ah Pergaulatan Spiritual Perempuan, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1999), hal.122
[4] William C. Chittick, Tasawuf di Mata Kaum Sufi,(Bandung,
2002), Cet I, hal. 123
[5] Noer Iskandar Al-Barsany, Tasawuf Tarekat dan Para Sufi,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. I, hal. 143
[6] Ensiklopedi Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Cet 4
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Heve, 1997 jilid 5. hal. 29
[7] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan perkembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 1989), hal.168
[8] Djamaluddin Ahmad Al-Bunny, Menelusuri Taman-taman Mahabbah
Shufiyyah, Yogyakarta: Mitra Pustaka 2002), hal. 48
[9] M. Ali as-Shabuni, Al-Tibyan fi Ulum al-Qur'an, Terj, M.
Khudori Umar dan Mustofa, H.S, (Bandung: al-Ma'arif, 1996), 18
[10] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Mizan, (Bandung,
1992), cet. 1, hal. 87
[11] Sutrisno hadi, Metodologi Riset, PT. Psikologi UGM,
(Yogyakarta 1983), hal. 42
[12] Ibid, hal. 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar